Jumat, 07 Mei 2010

Bandung!

Bandung Selatan di waktu malam
Dalam asuhan Dewi Purnama
Cantik mungil kesuma melati putri manja Ibunda Pertiwi …

(Ismail Marzuki, Bandung Selatan di Waktu Malam)

Pada tanggal 4 Oktober 1945, ditanda-tangani perjanjian antara Mayor Jenderal Mabuchi, Panglima Militer Jepang Jepang dengan Residen Priangan R. Puradiredja. Bagian terpenting dari perjanjian tersebut adalah bahwa bendera Indonesia akan dibiarkan di gudang-gudang senjata militer Jepang. Patroli-patroli gabungan Indonesia-Jepang akan menjaga instalasi-instalasi ini dengan Indonesia bertugas secara menonjol di depan umum dan Jepang secara tersembunyi di belakang layer.

Perjanjian tersebut juga disaksikan oleh Oto Iskandardinata (Ketua KNI Jawa Barat), R. Nitisumantri (Ketua KNI Karesidenan Priangan), R. Soehari (Ketua BKR Kota Besar Bandung) dan R. Jusuf (Kepala Polisi Karesidenan Priangan).

Adalah jelas bahwa perjanjian itu tidak melibatkan penyerahan senjata sebenarnya ke BKR namun diatur agar supaya masyarakat umum melihat bahwa Indonesia telah menguasai gudang-gudang senjata itu. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi tekanan para pemuda untuk mempersenjatai para penduduk. Dan ini adalah motivasi Mabuchi sambil menunggu tentara sekutu memasuki kota Bandung. Dalam hal ini Oto-Puradiredja, tidak mengetahui keinginan Mabuchi yang sebenarnya, mereka mengira senjata-senjata tersebut akan diberikan ke pihak Indonesia.

Para pemuda yang segera meyimpulkan hasil dari perjanjian tersebut dan melihat situasi yang tidak berubah, pada tanggal 6 Oktober 1945 melakukan pemboikotan terhadap pihak Belanda (interniran) di pasar-pasar di kota Bandung. Tak seorang pun yang mau menjual barang-barangnya kepada para mantan tahanan Jepang itu.

Dan di tanggal 9 Oktober 1945, rombongan-rombongan pemuda dari berbagai golongan, mendobrak dan menyita pabrik senjata di Kiarcondong. Hal ini menimbulkan kemarahan Mabuchi sehingga akhirnya dia melakukan serangan balasan ke para pemuda dan akhirnya markas BKR tak luput dari serbuan tentara Jepang. Praktis setelah itu kota Bandung di bawah pengawasan Jepang.

Tentara sekutu sendiri masuk ke kota Bandung pada tanggal 17 Oktober 1945 di bawah pimpinan Brigadir Jenderal N. McDonald yang membawa Bigade Infanteri ke-37 dengan menggunakan kereta api. Di kota Bandung terdapat puluhan ribu mantan interniran (APWI : Allied prisoners of war an Internees) yang harus dijaga dan dirawat oleh sekutu.

Kehadiran sekutu mulai menimbulkan situasi yang tidak kondusif di Bandung. Pada tanggal 25 November 1945, para pemuda menyerang tempat-tempat kedudukan sekutu, APWI dan Jepang di beberapa tempat seperti : Lapangan Terbang Andir, Tangsi Jepang di Tegallega, Hotel Preanger dan Hotel Savoy Nyoman.

Akhirnya pada tanggal 27 November 1945, Brigadir McDonald mengeluarkan ultimatum kepada kepala daerah dan masyarakat Bandung agar segera mengosongkan kota Bandung bagian utara dengan dibatasi oleh jalan kereta api. Apabila sekutu masih mendapati orang Indonesia membawa senjata di wilayah Bandung utara setelah ultimatum dijalankan maka orang tersebut akan ditembak mati.

Walaupun telah dibatasi dengan garis demarkasi berupa rel kereta api, serangan sporadis tentara dan pemuda Indonesia terus dilakukan ke wilayah Bandung utara. Puncaknya adalah pasukan TRI (Tentara Republik Indonesia) melakukan penghadangan iringan-iringan konvoi Inggris di Fokkersweg (sekarang Jl. Garuda) pada pertengahan Maret 1946.

Pertempuran di Fokkersweg meluas ke tempat dan daerah yang lain di kota Bandung sehingga pasukan sekutu semakin berketetapan untuk menguasai seluruh kota. Mayor Jenderal Hawthorn, panglima divisi ke-23 yang sejak 16 Februari 1946 memindahkan dari markasnya dari Jakarta ke Bandung, mengeluarkan ultimatum agar seluruh pasukan Indonesia mengosongkan daerah selatan Bandung pada tanggal 24 Maret 1946 tengah malam.

Perundingan dengan pihak republik pun dilakukan, Menteri Sjarifudin Prawiranegara, Mayor Jenderal Didi Kartasasmita dan Kolonel AH Nasution datang mewakili pihak Indonesia. Pertemuan itu gagal dan tidak menghasilkan kesepakatan apa-apa kecuali ketetapan tentara sekutu yang tidak bisa dirubah.

Pada tanggal 24 Maret 1946, pukul 14.00, Kolonel AH Nasution selaku Panglima Divisi III mengeluarkan perintah agar semua pegawai dan rakyat sebelum pukul 24.00 sudah meninggalkan kota Bandung dan membumihanguskan Kota Bandung yang ditinggalkan serta menyerang kedudukan musuh di wilayah utara. Bandung lautan api pun dimulai.

Keesokan pagi harinya, brigade infanteri ke-49 tentara Inggris, masuk menyerbu ke wilayah selatan Bandung dan secara khusus brigade infanteri ke-36 didatangkan dari Jakarta untuk melakukan operasi pembersihan. Perlawanan rakyat Jawa Barat pun berpindah ke luar daerah kota Bandung.

Sekarang telah menjadi lautan api,
Mari Bung rebut kembali !

(No Name, Halo-halo Bandung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2009 Arief Rizqi